Mengintip Pasal Santet dalam Rancangan Undang-undang KUHP
Tribun Batam - Kamis, 21 Maret 2013 10:20 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com -
Kejahatan-kejahatan ilmu hitam dibahas dan diatur dalam Rancangan
Undang-undang Kitab Umum Hukum Pidana (KUHP) yang tengah digodok Dewan
Perwakilan Rakyat.
Setiap orang yang berupaya
menawarkan kemampuan magisnya bisa terancam pidana lima tahun penjara.
Aturan tersebut diatur dalam Bab V tentang Tindak Pidana terhadap
Ketertiban Umum yang secara khusus dicantumkan dalam pasal 293.
Adapun, berikut kutipan pasal yang mengatur tentang santet dan ilmu hitam lainnya itu:
(1)
Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib,
memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan
jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan
penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV
(2)
Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 melakukan
perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata
pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya ditambah dengan sepertiga
Sementara,
dalam penjelasannya disebutkan bahwa ketentuan itu dimaksudkan untuk
mengatasi keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam
(black magic) yang secara hukum menimbulkan kesulitan dalam
pembuktiannya.
Ketentuan ini dimaksudkan juga
untuk mencegah secara dini dan mengakhiri praktik main hakim sendiri
yang dilakukan oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang dituduh
sebagai dukun teluh (santet).
Tidak rasional
Pakar
hukum dari Universitas Sumatera Utara, Dr Pedastaren Tarigan,
berpendapat, tidak rasional menjadikan santet sebagai delik sebab
perbuatan itu merupakan fenomena kekuatan gaib dan akan sulit dibuktikan
di ranah hukum pidana.
"Santet akan sulit
dibuktikan dan begitu pula oleh aparat penegak hukum yang menangani
perkaranya," kata Pedastaren, di Medan, Kamis (21/3/2013), menanggapi
rancangan kitab undang-undang hukum pidana (KHUP) yang diajukan
pemerintah.
Oleh karena itu, menurut dia,
pemerintah yang telah memasukkan delik santet ke rancangan KUHP
hendaknya mengkaji kembali dan mempertimbangkan secara arif dan
bijaksana.
"Kita tidak ingin dengan
diberlakukannya delik santet melalui KUHP, dapat menimbulkan masalah
sosial di kemudian hari atau banyak warga yang jadi korban fitnah, lalu
menjadi terdakwa dan diadili," katanya.
Menurutnya,
praktik santet sering terjadi di lingkungan masyarakat, tetapi untuk
membuktikan siapa pelaku maupun korbannya sulit dibuktikan.
Seorang
penegak hukum, kata Pedastaren, tidak bisa menjadikan sebagai alat
bukti pengakuan seorang pelaku supranatural (dukun) bahwa si B sakit dan
ditemukan jarum di dalam perutnya akibat disantet atau diguna-guna oleh
si A.
Bahkan, katanya, keterangan seorang
penghayat supranatural juga tidak dapat dijadikan bukti untuk menjerat
misalnya si A melakukan perbuatan melanggar hukum untuk diajukan ke
pengadilan negeri.
Selain itu, Pedastaren juga
melihat ancaman hukuman tersebut sulit diterapkan kepada pelaku santet
atau dukun yang sengaja menyantet seseorang karena disuruh orang lain
dengan imbalan berupa uang.
Menurutnya, kasus
kejahatan santet-menyantet sering terjadi di kalangan masyarakat, akibat
persaingan bisnis, jabatan, atau percintaan, tetapi karena menyangkut
kekuatan gaib, sulit dibuktikan di ranah hukum. (*)
Editor : candrappusponegoro
0 komentar:
Posting Komentar